Oleh : Mas Putra Zenno Januarsyah
Korupsi di Indonesia, sudah merupakan “biang kemudaratan
”, yang bisa meluluhlantakkan hampir semua bidang kehidupan, seperti
ekonomi, politik, hukum (peradilan), sosial, budaya, kesehatan,
pertanian, dan hankam, bahkan kehidupan ber”agama” yang selama ini
dianggap sebuah zona yang sakral dan sarat dengan nuansa moral, ternyata
bersarang pula perilaku amoral bagi pengurus dan pemeluknya. Dampaknya,
sangat besar dan meluas, mulai dari kerugian negara sampai pada
fenomena meluasnya kemiskinan secara struktural. Akibatnya, korupsi
melahirkan berbagai tragedi alami, kemasyarakatan dan juga kemanusiaan.
Berbagai upaya semula diramalkan bisa mencegah-tangkal dan pada akhirnya
diharapkan mampu memberantas tuntas akar korupsi, baik yang dilakukan
melalui penciptaan piranti hukum maupun aplikasi hukum in concreto , ternyata hasilnya terjadi aplikasi hukum “tebang pilih” (discriminative justice ). De Facto , terjadi penegakan hukum diskriminatif dan kontra produktivitas.
Meluasnya
fenomena korupsi di Indonesia sesungguhnya lebih banyak berbentuk
penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan politik maupun ekonomi oleh upper power class dan upper economic class
. Dengan mempelajari “kelemahan” hukum, mereka melakukan konspirasi
untuk tujuan kepentingan ekonomi tertentu yang pada akhirnya menimbulkan
korupsi. Dengan profesionalitas yang dimilikinya, perbuatannya sangat
sulit dideteksi oleh hukum (offences beyond the reach of the law
). Penguasaan sumber daya politik yang melekat pada posisi jabatan
strategis tertentu dalam ruang lingkup kekuasaan kelembagaan negara,
merupakan potensi besar untuk mengalokasikan sumber dan fasilitas
ekonomi, sesuai dengan kepentingan bisnis pihak penjalin hubungan
patronase dengan pemegang kekuasaan. Bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan
kewenangan seperti ini semakin menjadi, karena terjadi ketidakefektifan
pengawasan oleh lembaga-lembaga pengawasan resmi, maupun oleh
pranata-pranata demokrasi yang bergerak terbatas karena diakomodasikan
dan dikendalikan negara. Akibatnya, ruang gerak korupsi menjadi semakin
meluas dan “menggila". Pada
akhirnya, prognosis korupsi semakin meluas bahkan hampir menjurus pada
“pembusukan” bangsa sehingga diberi predikat sebagai extra ordinary crime
. Situasi korupsi di Indonesia pada saat ini, memang tidak bisa lagi
dikategorikan sebagai situasi normal, melainkan sudah melebihi ambang
batas toleransi (“Abnormal ”).
Apakah dengan mengorupsi uang negara (uang rakyat) yang menyebabkan timbulnya kerugian bagi negara (rakyat), sementara perbuatan pelaku hanya menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, merupakan perbuatan yang adil? Jika uang negara yang pada mulanya peruntukkannya digunakan untuk kemakmuran rakyat, namun dikorupsi terus, apakah dengan demikian kemakmuran rakyat akan tercapai? Ada adagium dalam bahasa Latin yang mengatakan “Salus populi suprema est lex ” yang artinya “Kemakmuran rakyat adalah norma hukum tertinggi ”. Jadi, jelaslah bahwa korupsi adalah perbuatan yang bertentangan dengan kemakmuran rakyat sebagai norma dan sekaligus sebagai tujuan hukum tertinggi. Tidaklah dipungkiri, “jika keadilan dan kemakmuran tidak tercipta jangan harap kesejahteraan akan terjelma ”.
Apakah dengan mengorupsi uang negara (uang rakyat) yang menyebabkan timbulnya kerugian bagi negara (rakyat), sementara perbuatan pelaku hanya menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, merupakan perbuatan yang adil? Jika uang negara yang pada mulanya peruntukkannya digunakan untuk kemakmuran rakyat, namun dikorupsi terus, apakah dengan demikian kemakmuran rakyat akan tercapai? Ada adagium dalam bahasa Latin yang mengatakan “Salus populi suprema est lex ” yang artinya “Kemakmuran rakyat adalah norma hukum tertinggi ”. Jadi, jelaslah bahwa korupsi adalah perbuatan yang bertentangan dengan kemakmuran rakyat sebagai norma dan sekaligus sebagai tujuan hukum tertinggi. Tidaklah dipungkiri, “jika keadilan dan kemakmuran tidak tercipta jangan harap kesejahteraan akan terjelma ”.
Menyikapi
problema korupsi yang merupakan perbuatan tercela. Maka solusinya
adalah kembali pada landasan berperilaku bangsa Indonesia yaitu
Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung di setiap butirnya, antara
lain :
1. Perbuatan
yang sesuai dengan nilai/paradigma moral religious, adalah perbuatan
yang dikehendaki Tuhan yang tertuang melalui ajaran-ajaran atau
nilai-nilai agama yaitu perbuatan benar menurut penalaran akal budi manusia terhadap agamanya (Tuhannya).
2. Perbuatan
yang sesuai dengan nilai/paradigma kemanusiaan, adalah perbuatan yang
mengakui dan menghormati martabat kemanusiaan, yaitu berlaku tidak sewenang-wenang, tidak melanggar hak orang lain, sesuai dengan kewajibannya sendiri dan kewajiban orang lain .
3. Perbuatan yang sesuai dengan nilai/paradigma kebangsaan, adalah perbuatan yang mampu mengendalikan diri sendiri, yaitu perbuatan yang tidak mementingkan diri sendiri, orang lain atau golongannya saja.
4. Perbuatan
yang sesuai dengan nilai/paradigma demokrasi (kerakyatan/hikmah
kebijaksanaan) adalah perbuatan yang menghormati dan mentaati setiap
keputusan rakyat yang telah diambil secara konstitusional dan
demokratis, yaitu perbuatan patuh pada hukum negara .
5. Perbuatan
yang sesuai dengan nilai/paradima keadilan sosial adalah perbuatan yang
dapat memberi arah pada pertumbuhan kesadaran setiap individu sebagai
mahluk sosial, yang menjunjung keadilan bersama dengan orang lain
sebagai sesama warga masyarakat, bangsa dan negara, yaitu perbuatan yang berkeadilan menurut kepentingan bersama.