Mari Bersama Basmi Haji Korup!



Idul Adha merupakan hari raya bagi umat muslim sedunia, tak hanya itu,  di tahun 2013 ini, sekitar 170.000 orang jemaah asal Indonesia berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji. Dari banyaknya jemaah tersebut dapat dipastikan harapannya adalah memperoleh kemambruran.

Menurut Komaruddin Hidayat salah satu hikmah ibadah haji ialah agar kita mampu memutus jeratan hegemoni rutinitas hidup yang amat potensial mengaburkan arah perjalanan kita karena tanpa sadar, bisa jadi kita telah menciptakan kiblat atau berhala-berhala baru. Berhala baru itu mungkin berupa obsesi jabatan, kemegahan hidup, popularitas, self-glory, dan bayang-bayang lain sehingga menghalangi kedekatan kita dengan Allah. Karena itu, Allah memanggil manusia untuk datang ke rumah-Nya, meninggalkan tanah air, pekerjaan, teman, dan segala urusan.

Penghancuran berhala hawa nafsu secara amat dramatis dicontohkan drama penyembelihan Nabi Ibrahim atas putranya sendiri, Ismail. Secara fisik, peristiwa penyembelihan memang tidak jadi dilakukan. Namun, secara mental spiritual, perintah Allah telah dijalankan karena baik Ibrahim, Siti Hajar sang istri, maupun Ismail sang putra, siap melakukan perintah Allah. Oleh Allah, posisi Ismail lalu digantikan dengan domba. Perintah berkurban itu begitu mendasar lalu diabadikan dalam ibadah haji sehingga hari raya haji disebut juga Idul Kurban atau Idul Adha sebagaimana disimbolkan dalam penyembelihan hewan kurban.

Perlu disadari, bahwa yang dibutuhkan masyarakat saat ini bukan hanya menerima sepotong daging kurban, melainkan juga rasa aman, pendidikan yang bagus, dan lapangan pekerjaan. Jadi, sungguh ironis bila para pemimpin bangsa berulang kali pergi haji dan tiap tahun menyembelih hewan kurban, tetapi yang marak justru korupsi, bukan semangat dan tindakan nyata untuk berkurban, menolong rakyat yang kian menderita. Allah tidak memerlukan pemberian daging kurban, tetapi akan menilai ketakwaan hamba-Nya dalam amal perbuatan nyata (QS 22:37).

Sosok Ibrahim adalah cerminan pemimpin sehingga pesan Tuhan kepada Ibrahim sebenarnya berlaku untuk kita, terutama para pemimpin. Jika cinta seorang pemimpin kepada keluarganya sampai menggeser ketaatan kepada Tuhan dan melupakan fakir miskin, negara pasti hancur dan sampai tingkat tertentu bangsa ini telah mengalami kehancuran akibat para pemimpinnya lebih mencintai keluarganya secara berlebihan sehingga mengorbankan kepentingan rakyat.

Sungguh menarik bila makna dari ibadah haji tersebut direnungkan dan dibandingkan dengan keadaan bangsa kita saat ini, terutama terkait dengan proses-proses hukum yang tengah dilakukan oleh Penegak Hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam penyelidikan dan penyidikan dapat dikatakan ternyata orang-orang yang tersangkut kasus korupsi adalah orang-orang/pemimpin yang sudah pergi haji, sekali bahkan telah berkali-kali berhaji. Entah bagaimana  orang-orang/pemimpin itu memaknai ibadah haji yang demikian besar hikmahnya, mungkin mereka hanya sekedar memenuhi rukun hajinya saja tanpa melakukan tindakan nyata atau sekedar menebar riya untuk memakaikan gelar 'H' atau 'HJ' di depan namanya, perbuatan tersebut tentu membuat ibadah hajinya menjadi sia-sia dan tak bernilai dihadapan Allah.

Atas fenomena korupsi yang tengah melanda bangsa ini, perlu sesegera mungkin kita meneladani, mengimplementasikan atau membuatnya menjadi nyata hal-hal yang dapat dimaknai dari Idul Adha kali ini. Bangsa ini tidak akan bertahan lama bila para pemimpinnya tidak berkurban demi kesejahteraan rakyatnya. Islam mengajarkan pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan penguasa yang harus ditakuti dan dilayani. Jadi syarat mutlak menjadi pemimpin adalah memiliki sikap sedia berkurban yang didorong rasa cinta terhadap sesama serta didasari cinta kepada Allah.

Sebuah bangsa yang tidak memiliki semangat berkurban, tetapi semangat korupsi, bersiaplah menghadapi kehancuran. Yang demikian diumpamakan oleh Allah bagaikan seorang wanita yang telah bekerja keras memintai benang, lalu setelah sempurna diurai dan dirusak kembali (QS 16:92). Alquran juga mengingatkan kehancuran sebuah bangsa selalu bermula ketika para pemimpin yang ada di lapisan puncak piramida kekuasaan berbuat fasik, yaitu kezaliman, kemaksiatan, dan tidak lagi mengindahkan hukum (QS 17:16).

REFERENSI
Komaruddin Hidayat, Allah bersama mereka yang teraniaya, koran Media Indonesia, 14/10/13.