ASAS LEGALITAS SEBAGAI PILAR NEGARA HUKUM


Pendahuluan
Negara hukum Indonesia dikonsepsikan secara tegas sebagai negara hukum yang prismatis, menggabungkan segi-segi positif antara rechtstaat dengan kepastian hukumnya dan the rule of law dengan rasa keadilannya secara integratif, bukan hanya rechtstaat dan bukan hanya the rule of law. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil perubahan menyebutkan bahwa Indonesia adalah “negara hukum” titik, tanpa kata rechtstaat yang diletakkan di dalam kurung. Hal itu harus diartikan bahwa negara hukum Indonesia menerima asas kepastian hukum, yang titik beratnya pada rechtstaat, sekaligus menerima asas rasa keadilan, yang titik beratnya pada the rule of law. Pengertian yang demikian dipertegas pula di dalam Pasal 28H UUD 1945 yang juga menekankan pentingnya kemanfaatan dan keadilan, sedangkan Pasal 28D menekankan pentingnya kepastian hukum yang adil.[1]
Memang KUHP sebagaimana terlihat dalam Pasal 1 ayat (1) menggunakan prinsip kepastian hukum di bawah asas legalitas. Akan tetapi, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, selain menerapkan bunyi undang-undang, hakim diwajibkan untuk menggali nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat. Hal itu menunjukkan bahwa selain kepastian hukum, dunia peradilan menekankan pada rasa keadilan. Dengan kata lain, dalam penegakan hukum modern, asas kepastian hukum tidak boleh dijadikan satu-satunya dasar putusan hakim. Kenapa? Karena ada keharusan agar putusan hakim didasarkan juga pada asas keadilan dan kemanfaatan.
Dengan demikian jelas bahwa prinsip itu kemudian diakomodasi dalam sistem peradilan di Indonesia. Hanya saja, akomodasi atas keduanya kemudian justru menimbulkan dilema. Sebab, yang menjadi sumber masalah dalam praktik adalah kedua prinsip itu bukan diperlakukan secara integratif melainkan alternatif. Akomodasi yang memberi tempat pada kedua prinsip tersebut menimbulkan ambiguitas orientasi konsep yang sering dipergunakan aparat penegak hukum untuk mencari “kemenangan” semata dan bukan “kebenaran” dalam perkara-perkara pidana.
Proses mencari kemenangan bagi advokat, jaksa, dan hakim sering dilakukan melalui manipulasi atas pilihan antara kepastian hukum dan rasa keadilan. Di sinilah letak paling rawan bagi terjadinya mafia peradilan (judicial corruption) atau mafia hukum. Dengan keleluasaan memilih pilihan antara kepastian hukum atau rasa keadilan, maka terbuka kemungkinan bagi para penegak hukum itu untuk menegosiasikan putusan tertentu melalui politik transaksional, baik berimbalan uang maupun yang lainnya. Jika keinginan memvonis satu kasus sudah ditentukan melalui transaksi maka tinggal memilih apakah isi vonis itu bisa didukung dengan asas kepastian hukum ataukah asas keadilan yang bisa saja dikarang-karang sesukanya. Jadi, mafia peradilan yang terus saja terjadi ini sebenarnya dilakukan melalui cara-cara manipulasi atas konsep-konsep itu. Jika satu kasus korupsi misalnya, dapat dimenangkan menurut kehendak dalam proses mafia melalui prinsip kepastian hukum, proses mafianya mengarahkan putusan pengadilan untuk menggunakan hukum-hukum tertulis dan bukti formal. Tetapi sebaliknya, jika kasus itu tak bisa dimenangkan, dalam arti negatif pula bagi proses mafia, yang dipergunakan adalah dalil-dalil tentang rasa keadilan. Parah dan sangat memprihatinkan untuk dikatakan, tetapi itulah kenyataannya.

Prinsip Pokok Negara Hukum
Dalam perspektif negara hukum, asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali[2] atau asas legalitas merupakan hal yang tidak dapat dielakkan, namun secara historis dapat dijelaskan bahwa tumbuh dan berkembangnya asas legalitas atau Principle of Legality sebagai asas mendasar dalam hukum pidana pada sebagian sistem peradilan pidana muncul pada Abad Pencerahan atau Zaman Aufklarung, yaitu Abad ke-15 yang didominasi oleh pandangan realism. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh perubahan peta pemikiran politik dan filsafat hukum yang berkembang di daratan Eropa. Berlakunya asas legalitas memberikan sifat perlindungan kepada masyarakat. Perundang-undangan pidana menyediakan konsesi melindungi rakyat dari pelaksanaan kekuasaan tanpa batas dari pemerintah atau kekuasaan negara. Tidak ada pemidanaan kecuali atas dasar undang-undang, ini merupakan fungsi melindungi dari asas legalitas. Di samping fungsi itu, asas legalitas juga memiliki fungsi instrumental. Dalam fungsi kedua, pada batas-batas koridor yang ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan kekuasaan penegakan hukum pidana tegas dijustifikasi. Dengan ungkapan lain, fungsi instrumental dapat dipersepsi sebagai “tidak ada perbuatan pidana yang tidak dituntut”.
Seorang pakar hukum pidana Jerman antara tahun 1775-1833, Anselm von Feuerbach, sehubungan dengan kedua fungsi itu merumuskan asas legalitas secara mantap dalam bahasa Latin sebagaimana telah disebutkan di atas, prinsip tersebut berarti tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa kekuatan undang-undang lebih dahulu. Semboyan ini kemudian populer di dalam KUHP negara-negara dengan sistem Eropa Kontinental atau civil law yang menganut konsep kodifikasi hukum pidana. Berdasarkan hal tersebut dapat ditegaskan bahwa tujuan dari asas legalitas yaitu memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, efektifnya detterent function dari sanksi pidana, tercegahnya penyalahgunaan kekuasaan, dan kokohnya penerapan prinsip rule of law. Tata hukum Indonesia, utamanya meletakan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Kemudian dalam pasangannya, asas ini mensyaratkan terikatnya hakim pada undang-undang. ini menegaskan agar proses peradilan pidana atau acara pidana dijalankan menurut acara, proses, atau prosedur yang telah diatur oleh undang-undang, yaitu Pasal 3 KUHAP.
Pasal 1 ayat (1) KUHP yang mengandung asas legalitas, menurut P.A.F. Lamintang rumusannya dalam bahasa Belanda berbunyi “Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling”, yang artinya tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang terlebih dahulu daripada perbuatannya itu sendiri.[3] Menurut Moeljatno biasanya asas legalitas ini mengandung tiga pengertian, yaitu :
1.      tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam aturan undang-undang;
2.      untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas);
3.      aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.[4]
Selanjutnya dikatakan bahwa pengertian yang pertama, harus ada peraturan undang-undang. jadi, peraturan hukum yang tertulis lebih dahulu yang dengan jelas tampak dalam Pasal 1 KUHP. Dengan adanya ketentuan ini, konsekuensinya perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat, tidak dapat dipidana, sebab tidak ditentukan dengan peraturan tertulis. Mengenai analogi, dipandang dari sudut psikologis bagi orang yang menggunakannya ada perbedaan yang besar dengan penafsiran ekstensif. Dalam analogi, sudah tidak berpegang pada aturan yang ada lagi, sedangkan penafsiran ekstensif masih berpegang pada bunyinya aturan.
Moeljatno tidak memberi penjelasan lebih jauh menyangkut tidak berlaku surutnya peraturan-peraturan hukum pidana. Hal yang sama menyangkut penerapan hukum adat, dikatakan oleh R. Soesilo bahwa Pasal 1 ayat (1) KUHP ini merupakan perundang-undangan hukum pidana modern yang menuntut ketentuan-ketentuan hukum pidana harus ditetapkan dalam undang-undang yang sah, yang berarti bahwa larangan-larangan menurut adat, tidak berlaku untuk menghukum orang. Menurut Sudarto, Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut berisi dua hal, yaitu:
1.      suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan perundang-undangan;
2.      peraturan perundang-undangan ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana.[5]
Demikian halnya dengan Wirjono Projodikoro mengungkapkan bahwa dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP ini terdapat dua asas dari hukum pidana, yaitu:
1.      bahwa sanksi pidana atau straf-sanctie hanya dapat ditentukan dengan undang-undang;
2.      bahwa ketentuan sanksi pidana ini tidak boleh berlaku surut atau geen terugwerkende kracht.[6]
Wirjono Projodikoro sesungguhnya sama dengan Moeljatno maupun Sudarto namun dalam hal ini menekankan pada sanksi pidananya, bukan perbuatan atau tindak pidananya. Menurut Bambang Poernomo bahwa banyak pengertian yang dapat diberikan kepada Pasal 1 ayat (1) KUHP, antara lain mempunyai makna :
1.      nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”, tiada delik, tiada pidana, tanpa peraturan yang mengancam pidana lebih dahulu (sifat umum adagium di dalam ilmu hukum pidana);
2.      “undang-undang hukum pidana tidak mempunyai kekuatan berlaku surut”;
3.      lex temporis delicti”, yang artinya undang-undang berlaku terhadap delik yang terjadi pada saat itu”.[7]
Menurut Lamintang, dalam hal ini dijelaskan bahwa ketentuan pidana dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP itu mengandung tiga buah asas yang sangat penting, yaitu :
1.      bahwa hukum pidana yang berlaku di negara kita itu merupakan suatu hukum yang tertulis;
2.      bahwa undang-undang pidana yang berlaku di negara kita itu tidak dapat diberlakukan surut;
3.      bahwa penafsiran secara analogis itu tidak boleh dipergunakan dalam menafsirkan undang-undang pidana.[8]

Sehubungan dengan penggunaan istilah “wettelijke bepaling” dalam naskah aslinya, menurut Lamintang tidak dapat diterjemahkan dengan undang-undang dalam arti formal saja atau dalam arti sempit, namun undang-undang dalam arti materiil, meliputi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.[9] Dengan demikian, apabila pandangan Lamintang tersebut diikuti, maka asas legalitas juga berlaku dalam konteks peraturan pemerintah maupun peraturan daerah. Penerjemahan yang dilakukan oleh Moeljatno menyangkut makna “wettelijk bepaling” tampaknya lebih tepat, karena diartikan perundang-undangan, setidak-tidaknya mendekati istilah peraturan perundang-undangan yang dipakai dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Terlepas dari makna secara terminologis, maupun etimologis asas legalitas yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, dalam konteks ini yang juga perlu diketengahkan yaitu menyangkut tujuan diadakannya asas legalitas. Hal ini tidak saja menyangkut aspek historis, namun juga kepentingan negara yang mengintroduksi asas legalitas dalam peraturan perundang-undangan pidananya. Dalam hal ini, Bambang Poernomo mengetengahkan empat sifat ajaran yang dikandung oleh asas legalitas, yaitu asas legalitas hukum pidana yang mendasarkan titik berat pada :
1.   perlindungan individu untuk memperoleh kepastian dan persamaan hukum terhadap penguasa agar tidak sewenang-wenang. Adagium yang dipakai oleh ajaran ini menurut G.W. Paton dinamakan “nulla poena sine lege”, sedangkan menurut L.B. Curzon dinamakan “nullum crimen sine lege”. Perlindungan individu diwujudkan adanya keharusan dibuat undang-undang lebih dahulu, untuk menentukan perbuatan pidana ataupun pemidanaan;
2.   dasar dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu, hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat serta tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota masyarakat, karena itu masyarakat harus mengetahui lebih dahulu rumusan peraturan yang memuat tentang perbuatan pidana dan ancaman pidananya. Adagium yang dipakai oleh ajaran ini dicetuskan oleh Von Feuerbach yang dinamakan “nullum delictum nulla poena sine praevia lege” atau menurut tulisan van Bemmelen dinamakan “nullum crimen nulla poena sine praevia lege poenale”;
3.   dua unsur yang sama pentingnya, yaitu bahwa yang diatur oleh hukum pidana tidak hanya memuat ketentuan tentang perbuatan pidana saja agar orang mau menghindari perbuatan itu, tetapi juga harus diatur mengenai ancaman pidananya agar penguasa tidak sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana. Di dalam ajaran ini terdapat filsafat keseimbangan antara pembatasan hukum bagi rakyat dan penguasa. Adagium dalam ajaran ini berpangkal dari Feuerbach yang disusun kembali menjadi tiga postulat oleh van Der Donk dengan nama “rondom den regel-nulla poena sine lege, nulla poena sine crimen, nullum crimen sine poena legali”;
4.   perlindungan hukum lebih utama kepada negara dan masyarakat daripada kepentingan individu, dengan pokok pikiran tertuju pada a crime is socially dangerous act of commission or omission as prescribed in criminal law. Pada ajaran ini asas legalitas diberikan ciri bukan perlindungan individu, akan tetapi kepada negara dan masyarakat, bukan kejahatan yang ditetapkan oleh undang-undang saja, tetapi menurut ketentuan hukum berdasarkan ukuran membahayakan masyarakat. Karena itu, tidak mungkin ada perbuatan jahat yang timbul kemudian dapat meloloskan diri dari tuntutan hukum. Adagium dalam ajaran ini menurut G.W. Paton dinamakan nullum crimen sine poena.[10]
Dalam kaitan dengan hal tersebut, menurut Barda Nawawi Arief bahwa perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung didalamnya asas Lex Temporis Delicti atau asas nonretroaktif. Larangan berlakunya hukum atau undang-undang pidana secara retroaktif ini dilatarbelakangi oleh ide perlindungan HAM. Berdasarkan hal ini, prinsip tersebut tercantum di dalam Pasal 11 UDHR, Pasal 15 ayat (1) ICCPR, Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1) Statuta Roma tentang ICC.[11] Pasal 1 ayat (1) KUHP seperti telah dikutip di atas dapat dijelaskan bahwa, Pertama, suatu perbuatan dapat dipidana jika termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang. Hal ini berarti pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan. Kedua, ketentuan pidana itu harus lebih dahulu ada daripada perbuatan itu, dengan perkataan lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan. Ketentuan tersebut tidak berlaku surut[12], baik mengenai ketetapan dapat dipidana maupun sanksinya. Ketiga, Pasal 1 ayat (2) KUHP membuat pengecualian atas ketentuan tidak berlaku surut untuk kepentingan terdakwa.
Menurut Schaffmeiser dan Nico Keizer, guru besar hukum pidana dari Belanda, pemerhati kebijakan kriminal Indonesia, dapat dipilah tujuh aspek asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP. Pertama, tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang. Kedua, tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi. Ketiga, tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan. Keempat, tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas sesuai syarat lex certa, yaitu undang-undang harus dirumuskan setajam dan sejelas mungkin serta harus dipercaya. Kemudian yang kelima, bahwa tidak ada kekuatan surut atau nonretroaktif, disebut juga delicti lex temporis. Keenam, tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang. Terakhir, penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.
Dari sudut pandang Sudarto dikemukakan bahwa larangan memberlakukan suatu perundangan secara retroaktif didasarkan pada dua pertimbangan pemikiran. Pertama, menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan penguasa maupun peradilan. Kedua, pidana itu juga sebagai paksaan fisik atau psychologischs dwang. Dengan adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana, pengusaha berusaha mempengaruhi calon pelaku tindak pidana untuk tidak melakukan suatu tindak pidana. Dengan kata lain, peraturan perundangan diadakan guna mencegah terjadinya suatu tindak pidana karena si calon pelaku menjadi takut akan ancaman yang diatur dalam ketentuan tersebut. Pemberlakuan peraturan pidana secara retroaktif oleh pembentuk undang-undang dapat dikatakan inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD, sebab pemberlakuan tersebut berarti mengingkari keberadaan negara Indonesia sebagai negara hukum seperti diatur oleh UUD 1945.
Berdasarkan konsepsi dan pengertian asas legalitas seperti dikemukakan di atas, asas legalitas sesungguhnya menutup berlakunya hukum tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat. Termasuk yang tidak dimungkinkan dalam hal ini, yaitu kategori menentukan perbuatan seseorang sebagai tindak pidana berdasarkan perasaan keadilan masyarakat atau kepatutan menurut masyarakat dan kategori-kategori lain yang tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam maknanya yang demikian, ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif maupun positif sebenarnya tidak dimungkinkan oleh asas legalitas.
Menurut Barda Nawawi Arief bahwa terjadi pergeseran asas legalitas di Indonesia dalam hal ini asas legalitas makin melemah. Asas legalitas dalam KUHP Indonesia bertolak dari ide atau nilai dasar “kepastian hukum”. Dalam realitanya, asas legalitas ini mengalami berbagai bentuk pelunakan atau penghalusan atau pergeseran atau perluasan dan menghadapi berbagai tantangan, antara lain :
1.   bentuk pelunakan atau penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu dengan adanya Pasal 1 ayat (2) KUHP;
2.   dalam praktek yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat melawan hukum yang materiil;
3.   dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia, asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai nullum delictum sine lege, tetapi juga sebagai nullum delictum sine ius atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas materiil, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum;
4.   dalam dokumen internasional dan KUHP negara lain juga terlihat perkembangan atau pengakuan ke arah asas legalitas materiil yang dapat dilihat pada Pasal 15 ayat (2) ICCPR dan KUHP Kanada;
5.   di beberapa KUHP negara lain yaitu antara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal ada ketentuan mengenai “pemaafan atau pengampunan hakim” yang dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “Rechtelijk pardon”, “Judicial pardon”, “Dispensa de pena”, atau “Nonimposing of penally” yang merupakan bentuk “Judicial corrective to the legality principle”;
6.   ada perubahan fundamental di KUHAP Prancis pada tahun 1975 dengan Undang-Undang Nomor 75-624, tanggal 11 Juli 1975 yang menambahkan ketentuan mengenai “pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pidana” disebut the declaration of gulit without imposing a penalty.[13]
Apabila mengikuti perkembangan yang telah dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief tersebut dalam kondisi rumusan asas legalitas yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, maka yang muncul inkonsistensi. Tidak berlebihan apabila pada bagian akhir dari tulisan Barda Nawawi Arief mengungkapkan bahwa “menarik untuk didiskusikan dan dikaji ulang kebijakan asas legalitas di Indonesia atau kebijakan hukum pidana lainnya yang bertolak dari ide kepastian hukum”.[14] Hal tersebut walaupun merupakan ajakan untuk mengkaji lebih mendalam, tetapi hakikatnya menunjukan ketidakpuasan atau ketidaksetujuan. Sekaligus menunjukan kritik yang fundamental terhadap hukum pidana, yang secara ekstrem dapat berakhir pada upaya untuk menyesuaikan asas legalitas dengan dinamika pemikiran hukum maupun realitas hukum.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suatu negara yang menganut asas nullum delictum dalam arti yang sebenarnya tidak mungkin menganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang positif. Bahkan apabila mengikuti pendapat Barda Nawawi Arief di atas, dianutnya ajaran sifat melawan hukum dalam pengertian materiil yang negatif juga sudah merupakan pergeseran atau melemahkan asas legalitas. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Depkumham RI, melalui “Pengkajian tentang Asas-asas Pidana Indonesia, dalam Perkembangan Masyarakat Masa Kini dan Mendatang” berposisi dan mengklaim bahwa :
Sebagian besar pihak, baik para ahli hukum pidana dari kalangan akademisi maupun praktisi, hingga kini mengharapkan agar ajaran perbuatan melawan hukum materiil tidak dipergunakan dalam fungsi positifnya, artinya apabila perbuatan dari pelaku ternyata tidak memenuhi rumusan deliknya atau tidak ada pelanggaran terhadap peraturan tertulisnya ataupun tidak ada pengaturannya dalam undang-undang, sehingga formil perbuatannya adalah tidak wederrechtelijk, meskipun materiil perbuatannya adalah melawan hukum atau dipandang tercela, maka terhadap pelaku tidak dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana mengingat berlakunya asas legalitas tersebut.

Penerapan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana di Indonesia
Perlu disadari bahwa Wet Boek van Strafrecht (WvS) merupakan peninggalan kolonial Belanda. Sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa penyesuaian dalam konteks Indonesia. Di antaranya terdapat pasal-pasal yang tidak diberlakukan dan diamandemen dengan menambah pasal-pasal yang dianggap masih kurang. Dalam perkembangannya, kebijakan mengamandemen pasal-pasal KUHP ini ditinggalkan dengan membentuk undang-undang baru. Sehingga muncul apa yang disebut dengan tindak pidana di luar KUHP. Tetapi ternyata pengaturan tindak pidana di luar KUHP ini membentuk sistem tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana sebagaimana diatur dalam buku I KUHP. Baik itu mengenai asas hukumnya maupun ketentuan pemidanaannya. Sebagai peraturan peninggalan Belanda, asas legalitas kemudian menjadi problem dalam penerapannya. Asas legalitas dihadapkan pada realitas masyarakat Indonesia yang heterogen. KUHP maupun ketentuan pidana di luarnya masih menyisakan bidang perbuatan yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dilarang, sementara undang-undang tertulis tidak mengatur larangan itu. Tetapi, dalam sejarah hukum pidana Indonesia, keberadaan pengadilan adat memungkinkan diterapkannya pidana adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) walaupun tindak pidana adat itu tidak diatur dalam KUHP. Oleh karena itu, asas legalitas dalam praktek di Indonesia tidak diterapkan secara murni seperti yang dikehendaki Pasal 1 KUHP. Jauh sebelum Indonesia merdeka, eksistensi peradilan adat telah diakui ketika pendudukan Belanda. Pengakuan peradilan adat ini dituangkan dalam berbagai peraturan yang dikeluarkan pemerintah pendudukan  Belanda.
 Di awal-awal kemerdekaan, peradilan-peradilan adat masih tetap eksis, sementara KUHP (Wetboek van Strafrecht) diberlakukan untuk mengisi kekosongan hukum. UUDS 1950 dan UU Nomor 1 Tahun 1951 dianggap mengukuhkan keberadaan peradilan adat tersebut. Namun sejak diberlakukannya UU 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, peradilan adat dihapuskan. Akibatnya praktis, eksistensi peradilan adat sudah berakhir melalui UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam prakteknya, peradilan adat ini menjadikan hukum adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar untuk menuntut dan menghukum seseorang. Dengan kata lain, seseorang yang dianggap melanggar hukum adat (pidana adat) dapat diajukan ke pengadilan dan diberi hukuman. Karena praktek inilah, yang menjadikan R-KUHP 2005 mencantumkan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ sebagai penyimpangan asas legalitas.

Penutup
Perlu pula untuk dikemukakan mengenai adanya pendapat para dokturum hukum pidana yang pro dan kontra terhadap eksistensi asas legalitas tersebut di dalam KUHP Indonesia. Hampir semua dapat digolongkan pro dianutnya asas legalitas, dan khusus untuk Indonesia, dapat disebut seorang penulis, yaitu Utrecht yang keberatan dianutnya asas tersebut di Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana (strafwaardig) tidak dipidana karena adanya asas tersebut. Begitu pula asas tersebut menghalangi berlakunya  hukum pidana adat yang masih hidup dan akan hidup. Menurut pendapat Andi Hamzah, adanya asas tersebut di dalam KUHP Indonesia merupakan dilema, karena memang dilihat dari segi yang satu seperti digambarkan oleh Utrecht tentang hukum adat yang masih hidup, dan menurut pendapat Andi Hamzah tidak mungkin dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan antara adapt pelbagai suku bangsa, tetapi dilihat dari segi yang lain, yaitu kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan adanya asas tiu. Lagipula sebagai Negara berkembang yang pengalaman dan pengetahuan para hakim masih sering dipandang kurang sempurna sehingga sangat berbahaya jika asas itu ditinggalkan. Dalam kehidupan hukum di Indonesia yang tidak saja mengenal pengertian hukum secara tertulis, tetapi mencakup ketentuan-ketentuan hukum tidak tertulis yang masih hidup dalam masyarakat (adat), maka keberadaan hukum adat masih sangat memegang peranan tinggi, apalagi masih terdapatnya keharusan bagi hakim untuk menilai norma-norma dari perbuatan tercela dalam suatu masyarakat (adat), meskipun perbuatan tersebut tidak ada pengaturannya dalam ketentuan formil (tertulis). Kadangkala ditemuinya suatu perbuatan yang menurut masyarakat adat tertentu adalah tercela sifatnya, tetapi tidak ada pengaturannya dalam KUHP atau bahkan sebaliknya suatu perbuatan yang menurut KUHP dalam melawan hukum atau tercela sifatnya, tetapi menurut ukuran masyarakat (adat) tertentu justru tidak dianggap sebagai hal yang tercela.
Ditegaskan oleh Jimly Ashidiqie, Asas Legalitas masih harus dipandang perlu eksistensinya dalam sistem Hukum Pidana Indonesia, dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Maka mengingat lambannya birokrasi di Indonesia, Romli Atmasasmita menekankan pentingnya rekayasa birokrasi dan rekayasa masyarakat yang dilandaskan pada sistem norma, sistem perilaku, dan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Kinerja Beraucratic of Social Engineering dengan tiga karakter tersebut di atas dapat dijelaskan antara lain: setiap langkah pemerintah (penguasa) dalam pembentukan hukum dan penegakan hukum merupakan kebijakan berlandaskan sistem norma dan logika berupa asas dan kaidah, dan kekuatan normatif dari hukum harus dapat diwujudkan dalam perubahan perilaku masyarakat dan birokrasi ke arah cita-cita membangun negara hukum yang demokratis. Negara hukum demokratis dapat terbentuk jika dipenuhi secara konsisten tiga pilar yaitu penegakan berdasarkan hukum (rule by law), perlindungan HAM (enforcement of human rights) dan akses masyarakat memperoleh keadilan (access to justice).[15] Dalam konteks Indonesia, ketiga pilar dimaksud harus diikat oleh Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Ikatan Pancasila tersebut merupakan sistem nilai tertinggi dalam perubahan sistem norma dan sistem perilaku yang berkeadilan sosial. Hanya dengan sudut pandang ini, maka dapat diciptakan kepatuhan hukum pada masyarakat dan birokrasi sehingga mewujudkan sistem birokrasi yang bersih dan bebas KKN. Jalinan Beraucratic of Social Engineering yang dilandaskan pada ketiga karakter sistem tersebut di atas merupakan modal dasar ketahanan nasional bangsa Indonesia dalam memelihara dan mempertahankan kedaulatan negara.
Berdasarkan pembahasan terkait di atas bahwa Asas Legalitas masih diperlukan sebagai pilar negara hukum, hal ini disebabkan selain adanya suatu kepastian hukum, juga menghindari adanya suatu bentuk kesewenang-wenangan dari aparatur penegak hukum maupun penguasa dalam konteks yang lebih luas. Asas legalitas mengimperasikan bahwa suatu kaidah hukum harus jelas dan tegas, sehingga kaidah tersebut akan memiliki kepastian hukum. Ini berarti, kebijakan apapun yang telah ditetapkan dalam suatu kebijakan legislasi, sepanjang kebijakan itu substansinya tidak terumuskan secara jelas dan tegas, maka sepanjang itu pula kebijakan tersebut menyimpang dari asas legalitas, karenanya melanggar asas kepastian hukum. Lebih luas lagi, kontradiktif dengan konsep negara hukum dalam artian rule of law maupun rechtstaat itu sendiri. Selain itu, ciri-ciri rule of law maupun rechtstaat telah pula menujukkan dengan jelas pengakuan dan perlindungan HAM yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan. Berdasarkan hal tersebut, asas legalitas merupakan hal yang harus ada di dalam sistem hukum pidana, karena di samping dapat memberikan jaminan untuk terciptanya kepastian hukum yang adil, juga menjamin pelaksanaan kekuasaan yang tidak berlebihan dari penguasa. Itulah sebabnya, Lieven Dupont mengingatkan “Het legalities beginsel is een van de meest fundamentale beginselen van het strafrecht” (asas legalitas adalah suatu asas yang paling penting dalam hukum pidana). Senada dengan Dupont, Peters juga mengatakan bahwa asas legalitas dapat menentukan kualitas dan karakter hukum dari hukum pidana.[16]

                                                               
DAFTAR PUSTAKA



[1] Moh Mahfud MD, dalam Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Indonesia Lawyer Club, Surabaya, Cetakan Kedua 2010, hlm.ix.
[2] Terminologi “asas nulla poena” tersebut dipergunakan oleh P.A.F. Lamintang untuk menjelaskan makna yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP (lihat P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.130.)
[3] P.A.F. Lamintang, Ibid, hlm.123.
[4] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm.25.
[5] Sudarto, Hukum Pidana, Jilid IA, 1990, hlm.19.
[6] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm.42.
[7] Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm.68.
[8] P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hlm.140-141.
[9] Ibid, hlm.132.
[10] Bambang Poernomo, Op.Cit., hlm.72-74.
[11] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.1.
[12] Romli Atmasasmita, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia, BPHN, Jakarta, 2002, hlm.3.)
[13] Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm.9-11.
[14] Ibid, hlm.11.
[15] Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta, 2012, hlm.96-97.
[16] Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 2002, hlm.9.

KEKUASAAN KEHAKIMAN (Give and Take)


Dewasa ini praktik penegakan hukum di Indonesia dapat dikatakan masih dililit berbagai permasalahan yang menjauhkan hukum dari tujuan utamanya untuk memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarakat. Secara kasat mata publik dapat melihat banyak kasus yang tidak hanya mengusik rasa keadilan masyarakat, namun juga menampakkan wajah yang diskriminatif dalam penegakannya. Salah satu contoh yang cukup dikenal masyarakat dimana terlihat adanya diskriminasi tersebut adalah perbandingan antara proses hukum terhadap kasus “pencurian” dua buah kapuk randu atau buah semangka yang cukup cepat dengan penanganan beberapa kasus korupsi yang sangat lamban dan tidak pernah ada kepastian kapan akan dituntaskan. Hukum dalam tataran inilah yang saat ini dilihat dan dirasakan langsung oleh masyarakat kebanyakan.
Akhirnya hukum yang seyogyanya memiliki tujuan tertinggi untuk menegakkan keadilan pun ternyata jaug panggang dari api. Aparat penegak hukum justru menjadi bagian dari penyebab buruknya penegakan hukum di negeri ini. Hakim yang diharapkan sebagai benteng terakhir untuk mewujudkan terpenuhinya rasa keadilan bagi masyarakat melalui putusan-putusannya ternyata juga menjadi salah satu pihak yang berkontribusi terhadap buruknya penegakkan hukum itu sendiri. Begitu pentingnya peran penegak hukum dalam hal ini hakim mengingatkan kita pada ucapan Taverne “Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik”.
Fakta dan pemberitaan tentang penegakan hukum oleh polisi, jaksa, hakim dan lembaga pemasyarakatan belakangan ini tidak mewujudkan pencerahan, rasa aman dan melindungi, tetapi justru menekan, membuat sumpek dan tak memberi harapan. Kekuasaan kehakiman menjadi “kekuasaan alienatif” yang kuat mencerminkan kepatuhan karena pelbagai bentuk tekanan. “Kekuasaan Moral” yang dibangun di atas dasar consensus normative dan dipatuhi secara moral-pun dengan sendirinya sirna. Celakanya kekuasaan alienatif tadi menemukan jalinan logisnya dengan “kekuasaan kalkulatif”.
Praktek penegakan hukum dalam logika kekuasaan macam itu terlibat dalam logika jual beli (give and take). Dalam logika ini, pengadilan tak lebih “panggung sandiwara” yang memiliki sutradara, scenario, kru dan aktornya sendiri yang mementaskan lakon apa saja. Dalam panggung itu peristiwa hukum adalah naskah cerita yang mempertemukan para pihak dalam logika jual beli. Hakim yang diharapkan mandiri dan tidak terpengaruh oleh kekuatan apapun dihadapkan pada realitas eksternal dan internalnya sendiri yang membuat hakim-hakim kita tak kuasa menjadi symbol moralitas dan progresifitas hukum. Sebagian hakim-hakim kita meminjam pandangan filsuf Karl Jaspers terperangkap dalam “situasi perbatasan” (Grenzsituationen), yaitu keadaan yang ia tahu tentang apa yang seharusnya dilakukan, tapi realitas konkret membuatnya tak bisa melakukan apa-apa.[1]
Hakim-hakim yang memiliki kehormatan dan martabat diri hanya mampu menyelamatkan dirinya sendiri, para pencari keadilan yang ada ditangannya, atau sedikit banyak menjadi faktor “pengganggu” bagi hakim-hakim penjual martabat, kehormatan, dan harga diri. Situasi disorder yang lama dibiarkan di institusi penegakan hukum itu telah menimbulkan efek kejiwaan tersendiri, yaitu adanya kenyamanan-kenyamanan tertentu karena adanya pendapatan-pendapatan gelap di balik ketidaktertiban penegakan hukum itu. Berandalan-berandalan hukum sudah pasti lebih menyukai ketidaktertiban di pelbagai aspek di lembaga penegakan hukum ketimbang sebaliknya (tertib), sebagaimana kehidupan disorder pada umumnya.
Menarik mengetengahkan kembali hasil penelitian MAPI yang bekerjasama dengan KHN beberapa tahun lalu yang dapat dikategorikan sebagai situasi disorder di pengadilan, khususnya di MA:

Diskrepansi di Mahkamah Agung
No
Jenis Diskrepansi
Pelaku yang terlibat
1
Hakim memperlambat pemeriksaan perkara, Hakim mengulur waktu penetapan perkara, Hakim melakukan tawar menawar putusan
-Hakim/Majelis
-Asisten Koordinator/Panitera
-Asisten Hakim Agung
-Pengacara/pihak yang berperkara
2
Tawar-menawar putusan
-Pengacara/pihak yang berperkara
-Hakim/Majelis
3
Pengaturan nomor urut pendaftaran
-Direktur
-Asisten Koordinator/Panitera
-Hakim/Majelis
-Pengacara/pihak yang berperkara
4
Pihak yang berperkara ditawari untuk memakai jasa pengacara tertentu
-Hakim yang mempunyai hubungan istimewa dengan pengacara tertentu
-Pengacara yang mempunyai hubungan istimewa dengan hakim tertentu
-Pihak yang berperkara
5
-Menghilangkan data perkara
-Membuat resume yang menguntungkan salah satu pihak
-Asisten Hakim
-Hakim/Majelis
-Pengacara/pihak yang berperkara
6
Hakim menunda atau menghentikan eksekusi suatu perkara
-Hakim Agung
-Pengacara/pihak yang berperkara




Referensi
Suparman Marzuki, Membangun Institusi Penegakan Hukum Yang Tertib, Materi Disampaikan Pada Seminar Nasional: Suap dan Pemerasan, Bandung
Hasil Penelitian MAPI bekerjasama dengan KHN