KEKUASAAN KEHAKIMAN (Give and Take)


Dewasa ini praktik penegakan hukum di Indonesia dapat dikatakan masih dililit berbagai permasalahan yang menjauhkan hukum dari tujuan utamanya untuk memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarakat. Secara kasat mata publik dapat melihat banyak kasus yang tidak hanya mengusik rasa keadilan masyarakat, namun juga menampakkan wajah yang diskriminatif dalam penegakannya. Salah satu contoh yang cukup dikenal masyarakat dimana terlihat adanya diskriminasi tersebut adalah perbandingan antara proses hukum terhadap kasus “pencurian” dua buah kapuk randu atau buah semangka yang cukup cepat dengan penanganan beberapa kasus korupsi yang sangat lamban dan tidak pernah ada kepastian kapan akan dituntaskan. Hukum dalam tataran inilah yang saat ini dilihat dan dirasakan langsung oleh masyarakat kebanyakan.
Akhirnya hukum yang seyogyanya memiliki tujuan tertinggi untuk menegakkan keadilan pun ternyata jaug panggang dari api. Aparat penegak hukum justru menjadi bagian dari penyebab buruknya penegakan hukum di negeri ini. Hakim yang diharapkan sebagai benteng terakhir untuk mewujudkan terpenuhinya rasa keadilan bagi masyarakat melalui putusan-putusannya ternyata juga menjadi salah satu pihak yang berkontribusi terhadap buruknya penegakkan hukum itu sendiri. Begitu pentingnya peran penegak hukum dalam hal ini hakim mengingatkan kita pada ucapan Taverne “Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik”.
Fakta dan pemberitaan tentang penegakan hukum oleh polisi, jaksa, hakim dan lembaga pemasyarakatan belakangan ini tidak mewujudkan pencerahan, rasa aman dan melindungi, tetapi justru menekan, membuat sumpek dan tak memberi harapan. Kekuasaan kehakiman menjadi “kekuasaan alienatif” yang kuat mencerminkan kepatuhan karena pelbagai bentuk tekanan. “Kekuasaan Moral” yang dibangun di atas dasar consensus normative dan dipatuhi secara moral-pun dengan sendirinya sirna. Celakanya kekuasaan alienatif tadi menemukan jalinan logisnya dengan “kekuasaan kalkulatif”.
Praktek penegakan hukum dalam logika kekuasaan macam itu terlibat dalam logika jual beli (give and take). Dalam logika ini, pengadilan tak lebih “panggung sandiwara” yang memiliki sutradara, scenario, kru dan aktornya sendiri yang mementaskan lakon apa saja. Dalam panggung itu peristiwa hukum adalah naskah cerita yang mempertemukan para pihak dalam logika jual beli. Hakim yang diharapkan mandiri dan tidak terpengaruh oleh kekuatan apapun dihadapkan pada realitas eksternal dan internalnya sendiri yang membuat hakim-hakim kita tak kuasa menjadi symbol moralitas dan progresifitas hukum. Sebagian hakim-hakim kita meminjam pandangan filsuf Karl Jaspers terperangkap dalam “situasi perbatasan” (Grenzsituationen), yaitu keadaan yang ia tahu tentang apa yang seharusnya dilakukan, tapi realitas konkret membuatnya tak bisa melakukan apa-apa.[1]
Hakim-hakim yang memiliki kehormatan dan martabat diri hanya mampu menyelamatkan dirinya sendiri, para pencari keadilan yang ada ditangannya, atau sedikit banyak menjadi faktor “pengganggu” bagi hakim-hakim penjual martabat, kehormatan, dan harga diri. Situasi disorder yang lama dibiarkan di institusi penegakan hukum itu telah menimbulkan efek kejiwaan tersendiri, yaitu adanya kenyamanan-kenyamanan tertentu karena adanya pendapatan-pendapatan gelap di balik ketidaktertiban penegakan hukum itu. Berandalan-berandalan hukum sudah pasti lebih menyukai ketidaktertiban di pelbagai aspek di lembaga penegakan hukum ketimbang sebaliknya (tertib), sebagaimana kehidupan disorder pada umumnya.
Menarik mengetengahkan kembali hasil penelitian MAPI yang bekerjasama dengan KHN beberapa tahun lalu yang dapat dikategorikan sebagai situasi disorder di pengadilan, khususnya di MA:

Diskrepansi di Mahkamah Agung
No
Jenis Diskrepansi
Pelaku yang terlibat
1
Hakim memperlambat pemeriksaan perkara, Hakim mengulur waktu penetapan perkara, Hakim melakukan tawar menawar putusan
-Hakim/Majelis
-Asisten Koordinator/Panitera
-Asisten Hakim Agung
-Pengacara/pihak yang berperkara
2
Tawar-menawar putusan
-Pengacara/pihak yang berperkara
-Hakim/Majelis
3
Pengaturan nomor urut pendaftaran
-Direktur
-Asisten Koordinator/Panitera
-Hakim/Majelis
-Pengacara/pihak yang berperkara
4
Pihak yang berperkara ditawari untuk memakai jasa pengacara tertentu
-Hakim yang mempunyai hubungan istimewa dengan pengacara tertentu
-Pengacara yang mempunyai hubungan istimewa dengan hakim tertentu
-Pihak yang berperkara
5
-Menghilangkan data perkara
-Membuat resume yang menguntungkan salah satu pihak
-Asisten Hakim
-Hakim/Majelis
-Pengacara/pihak yang berperkara
6
Hakim menunda atau menghentikan eksekusi suatu perkara
-Hakim Agung
-Pengacara/pihak yang berperkara




Referensi
Suparman Marzuki, Membangun Institusi Penegakan Hukum Yang Tertib, Materi Disampaikan Pada Seminar Nasional: Suap dan Pemerasan, Bandung
Hasil Penelitian MAPI bekerjasama dengan KHN

Tidak ada komentar: