SISTEM HUKUM: Sebuah Perspektif Ilmu Sosial


Sebuah sistem hukum tidak serupa dengan sebuah kursi, seekor kuda, atau sebuah buku, sistem hukum bukan konsep yang dirumuskan secara pasti dalam dunia sosial. Suatu sistem hukum menurut Friedman adalah organisasi yang kompleks di mana terjadi interaksi antara struktur, substansi, dan budaya. Struktur hukum dimaksud Friedman adalah sistem peradilan dan yang dimaksud substansi adalah peraturan dan yang dimaksud dengan budaya adalah bagian dari budaya umum, kebiasaan. Intinya budaya adalah unsur-unsur dari perilaku sosial dan nilai-nilai dalam masyarakat. Namun ada banyak cara untuk membahas hukum atau sistem hukum. Salah satunya dengan membahasnya sebagai hukum (law), yakni sekumpulan aturan atau norma, tertulis atau tidak tertulis, yang berkenaan dengan perilaku benar dan salah, hak dan kewajiban. Ini adalah penggunaan istilah hukum yang umum misalnya, kita bertanya apakah hukum memperbolehkan kita membayar makan siang kita dengan cara memotong uang pengembalian pajak penghasilan, atau apakah akan dikatakan sebagai hal yang melanggar hukum bila kita menerobos lampu merah atau merampok bank. Para ahli hukum juga sering membicarakan hukum dengan cara seperti itu. John Chipman Gray mendefinisikan hukum sebagai ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh pihak pemerintah untuk mengatur hak dan kewajiban yang legal. Ada banyak definisi serupa, meskipun Gray hanya menyebut tentang pemerintah, tetapi “hukum” bisa diartikan sebagai peraturan dan sekaligus struktur yang (di atas kertas) membuat atau menjalankannya.
Masalahnya, pandangan mengenai hukum seperti ini cenderung menganggap hukum sebagai semacam bidang kehidupan meta-sosial yang independen, disini ada fakta yang terabaikan di mana struktur dan peraturannya mungkin terlihat demikian di atas kertas, namun dalam kehidupan berbeda jalannya. Hampir semua orang mengakui bahwa hukum dalam kadar tertentu adalah produk sosial dan bahwa hukum di buku-buku dan hukum yang berlaku tidak selalu sama. Peraturan-peraturan dan struktur saja tidak bisa menjelaskan bagaimana mesinnya bekerja. Hal tersebut membuat kita tidak mampu membedakan antara hukum yang sudah mati dan hukum yang hidup. Semua itu tidak menunjukan bagaimana dan mengapa peraturan dibuat dan efek apa yang dihasilkannya pada kehidupan manusia. Hukum dalam pengertian sebagai struktur dan peraturan hanyalah satu dari tiga fenomena, yang semuanya sepadan dan amat nyata. Pertama, ada kekuatan-kekuatan sosial dan legal yang dengan cara tertentu mendesak masuk dan membentuk hukum. Kemudian muncul hukum itu sendiri – struktur-struktur dan peraturan-peraturan. Ketiga, ada dampak dari hukum tersebut terhadap perilaku di dunia luarnya. Dari mana hukum berasal dan apa yang diakibatkannya, bagian pertama dan ketiga adalah hal yang esensial dalam studi sosial hukum.
Argumen dasar bertolak dari beberapa proposisi sederhana yang terjalin erat satu sama lain. Yang pertama adalah proposisi mengenai perilaku hukum (legal behavior), yakni dampak peraturan, tatanan, dan perintah terhadap perilaku. Ada tiga kelompok faktor yang menentukan dampak ini yaitu sanksi, pengaruh sosial, dan nilai-nilai internal. Tetapi mereka yang menjadi subjek hukum bukan hanya bereaksi, juga berinteraksi. Menerjemahkan perasaan, sikap, motif, dan kecenderungan mereka menjadi tindakan kelompok, perundingan, upaya-upaya untuk mempengaruhi hukum, dan barangkali juga upaya-upaya untuk membelokkan atau merusak penerapan hukum. Interaksi ini menjadi bagian dari jaringan kekuatan yang secara bersama-sama bekerja menciptakan norma-norma, peraturan-peraturan, dan tatanan menciptakan apa yang bisa disebut sebagai tindakan hukum. Kekuatan-kekuatan ini merupakan kekuatan sosial, semua itu mucul dari kepentingan, meskipun para individu dan kelompok yang memiliki kepentingan itu tidak selalu mengacu pada lembaga-lembaga hukum untuk memenuhi keinginan mereka. Dengan demikian sebuah kepentingan tidak sama dengan tuntutan dalam sistem hukum. Tuntutan berasal dari sebuah keyakinan atau hasrat yang bisa atau harus dilakukan untuk menegaskan kepentingan, jadi tekanan untuk menciptakan sebuah hukum baru, atau mempertahankan hukum lama, mucul dari sikap dan perasaan yang menampilkan tuntutan kepada sebuah kelompok atau individu. 
Proposisi dasar dalam hakikat sistem hukum adalah bahwa tuntutan-tuntutan menentukan kandungan isinya. Artinya, hukum bukan merupakan suatu kekuatan kokoh yang independen melainkan merupakan respon atas tekanan luar dengan cara tertentu yang mencerminkan kehendak dan kekuatan-kekuatan sosial yang mengerahkan tekanan tersebut. Persis seperti halnya perilaku hukum adalah perpaduan dari perilaku yang berasal dari kepentingan-diri (respon terhadap sanksi) dan motif-motif sosial dan moral, begitu pula pengaruh orang-orang atau kelompok berasal dari kepentingan-diri yang dipantau oleh faktor-faktor kultural yang menentukan kepentingan mana yang akan dan tidak akan berubah menjadi tuntutan.
Friedman mengakui bahwa buku teks tentang sistem hukum hanya cocok untuk sistem hukum Amerika Serikat, pada proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat Indonesia Friedman tidak menjelaskan hubungan logis dan saling pengaruh antara ketiga unsur (substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum) sehingga ketiga unsur tersebut tidak serta merta dapat digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan pembangunan hukum nasional di Indonesia. Maka tidaklah dipungkiri bahwa Friedman telah mengabaikan peranan strategis birokrasi. Akan tetapi di lain hal, Friedman menekankan pentingnya reformasi dalam konteks hubungan hukum, kekuasaan, dan struktur sosial, ini berarti bahwa hukum tidak hanya dapat diartikan sebagai sistem norma (system of norms) dan sistem perilaku (system of behavior), hukum juga dapat diartikan dan seharusnya juga diartikan sebagai sistem nilai (system of values). Ketiga hakikat hukum dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia harus dipandang sebagai kesatuan pemikiran yang cocok dalam menghadapi dan mengantisipasi kemungkinan terburuk abad globalisasi saat ini dengan tidak melepaskan diri dari sifat tradisional masyarakat Indonesia yang masih mengutamakan nilai (values) moral dan sosial. Ketiga hakikat hukum dalam satu wadah pemikiran Romli Atmasasmita menyebutnya “tripartite character of the Indonesian legal theory of Social and Bureucratic Engineering (SBE)”. Rekayasa birokrasi dan rekayasa masyarakat yang dilandaskan pada sistem norma, sistem perilaku, dan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Kinerja Bureucratic of Social Engineering dengan tiga karakter tersebut di atas dapat dijelaskan antara lain: setiap langkah pemerintah (penguasa) dalam pembentukan hukum dan penegakan hukum merupakan kebijakan berlandaskan sistem norma dan logika berupa asas dan kaidah, dan kekuatan normatif dari hukum harus dapat diwujudkan dalam perubahan perilaku masyarakat dan birokrasi ke arah cita-cita membangun negara hukum yang demokratis. Negara hukum demokratis dapat terbentuk jika dipenuhi secara konsisten tiga pilar yaitu penegakan berdasarkan hukum (rule by law), perlindungan HAM (enforcement of human rights) dan akses masyarakat memperoleh keadilan (access to justice).
Dalam konteks Indonesia, ketiga pilar dimaksud harus diikat oleh Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Ikatan Pancasila tersebut merupakan sistem nilai tertinggi dalam perubahan sistem norma dan sistem perilaku yang berkeadilan sosial. Hanya dengan sudut pandang ini, maka dapat diciptakan kepatuhan hukum pada masyarakat dan birokrasi sehingga mewujudkan sistem birokrasi yang bersih dan bebas KKN. Jalinan Bureucratic of Social Engineering yang dilandaskan pada ketiga karakter sistem tersebut di atas merupakan modal dasar ketahanan nasional bangsa Indonesia dalam memelihara dan mempertahankan kedaulatan negara. Nilai-nilai Pancasila yang merupakan sistem nilai harus mewujud dalam sistem norma dari suatu produk legislasi, dan sistem perilaku dari aparatur hukum dan masyarakat. Kedua sistem ini sebagai derivative value harus merupakan karakter yang berhubungan erat satu sama lain dan memberikan isi terhadap produk legislasi sehingga merupakan satu bangunan piramida sistem hukum. Keterkaitan sistem nilai, sistem norma, dan sistem perilaku merupakan inti hukum yang integratif sebagaimana inti dari pendapat Romli Atmasasmita:

“Hukum sebagai sistem norma yang mengutamakan “norms and logics” (Austin dan Kelsen) kehilangan arti dan makna dalam kenyataan kehidupan masyarakat jika tidak berhasil diwujudkan dalam sistem perilaku masyarakat dan birokrasi yang sama-sama taat hukum. Sebaliknya, hukum yang hanya dipandang sebagai sistem norma dan sistem perilaku saja, dan digunakan sebagai “mesin birokrasi”, akan kehilangan Roh-nya jika mengabaikan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai puncak nilai kesusilaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara”.


Referensi

Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Nusamedia, Cetakan IV, Bandung, 2011.


Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2012.



1 komentar:

kalentabares mengatakan...

Borgata Hotel Casino and Spa - Mapyro
The casino 구미 출장안마 features 충청북도 출장안마 over 1,000 대구광역 출장샵 slot machines, 1,300 table games and more than 1,000 table games. The casino's 강릉 출장샵 games include Blackjack, Roulette, Craps, Keno, Bingo and Video 강원도 출장샵 Poker.Casino type: Land-basedOpened: 1992